Minggu, 08 Maret 2015

Dan akan selalu begitu.

...
Caleb berkata ibu pernah mengatakan bahwa setiap orang memiliki sisi jahat, dan langkah pertama untuk bisa mencintai orang lain adalah dengan menyadari sisi jahat diri sendiri, sehingga kita bisa memaafkannya.
Jadi, bagaimana mungkin aku bisa menyalahkan Tobias atas keputusasaannya, seolah-olah aku lebih baik darinya, seakan aku tak pernah membiarkan kerapuhan membutakan diriku?
"Hei," tegurku sambil memasukkan kertas dari Caleb ke saku belakang.
Tobias berbalik, ekspresi wajahnya tegang, seperti beberapa hari terakhir sejak aku mengatakan membutuhkan waktu untuk mencerna alasan tindakan diam-diamnya, seakan menanti hukuman dariku.
"Dengar," ujarku, "Tadinya kukira aku harus berpikir apakah aku bisa memaafkanmu atau tidak, tapi sekarang kurasa kau tak melakukan sesuatu yang perlu kumaafkan, kecuali mungkin sedikit ketidakjujuranmu... "
Tobias membuka mulutnya untuk memotong ucapanku, tapi buru-buru kutahan keinginannya dengan mengangkat tanganku.
"Kalau kita tetap bersama, aku harus memaafkanmu terus-menerus, dan kau pun demikian," ucapku. "Jadi, kurasa ini bukan soal maaf-memaafkan. Yang ingin aku tahu adalah apakah kita masih bisa menjadi pasangan yang baik untuk satu sama lain."
Sepanjang perjalanan pulang tadi, aku terus memikirkan ucapan Amar bahwa setiap hubungan pasti memiliki masalahnya masing-masing. Aku memikirkan orangtuaku yang lebih sering berdebat daripada orangtua kaum Abnegation yang lain, tapi tetap melalui hari-hari bersama hingga akhir usia.
Kemudian, aku terpikir bagaimana semua itu menjadikanku lebih kuat, lebih nyaman dengan diriku sendiri, dan bagaimana selama ini Tobias selalu berkata bahwa aku adalah orang yang berani, dihormati, dicintai, dan pantas untuk dicintai.
"Dan?" ucap Tobias, suara, mata, dan tangannya gemetar penuh keraguan.
"Dan," ujarku, "kupikir kau masih tetap satu-satunya orang yang tepat untuk orang sepertiku."
"Aku setuju," ujarnya.
Lalu aku memeluknya.
Lengannya memelukku erat. Kubenamkan wajahku di bahunya dan kupejamkan mata, menghirup aroma tubuhnya yang seperti bau angin.
Aku sering berpikir bahwa ketika seseorang jatuh cinta, ia tak akan punya pilihan. Dan, mungkin itulah yang terjadi di tahap-tahap awal, tapi tidak pada tahap ini, sekarang.
Aku jatuh cinta pada Tobias. Tapi, bukan berarti aku bersamanya karena tidak ada orang lain untukku, atau untuknya. Aku tetap bersamanya karena itulah pilihanku, pilihan kami. Setiap pagi, setiap kali kami bertengkar, berbohong, atau mengecewakan satu sama lain. Aku memilihnya terus-menerus, dan Tobias memilihku.[]


"Kau tahu, aku menyayangimu."
"Aku tahu. Aku juga menyayangimu."

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © suci asmarani
Blogger Theme by BloggerThemes | Theme designed by Jakothan Sponsored by Internet Entrepreneur